Thursday, November 1, 2012

Cewe Kece di Angkringan Pak Bet


Semasa Kuliah, keuangan selalu menjadi masalah utama bagi mahasiswa, salah satunya aku. Seorang mahasiswa yang udah mendekati jatuh tempo. Kebetulan aku nge-kost di daerah deket kampus yah, kira-kira sekitar 500 meter lebih lah dari kampus (jauh amat!). Nah, dalam mengatasi masalah finansial (dua suku kata terakhir di ucapkan sambil teriak teriak!), terpaksanya hampir setiap malem mampir di angkringan, dengan judul PAK KAREBET!

Angkringan Pak Bet sebenernya mirip sama angkringan lainnya, bedanya mungkin di sekitaran rasa dan ukuran nasi bungkusnya, dan menurutku harga juga sangat berpengaruh, lebih murah 200-300 perak. Terletak di seberang Wonderia Apes-ment Park (kenapa apes??? yah nanti di bahas di episode selanjutnya) dan di sudut jalan taman Singosari Semarang. Angkringan ini tentunya dengan lampu kuning dan tidak terlalu remang-remang (lampu bulp nya 75 watt). Tiga buah teko alumunium gede khas angkringan, beberapa jenis minuman bubuk instan, mi instan, gorengan, sate-satean dan tentunya nasi yang dibungkus dengan kertas koran menjadi pandangan wajib di angkringan ini (soalnya kalo yang di sajikan tanah dan bunga 7 rupa bisa jadi itu kuburan). Porsi nasinya juga lebih banyak walaupun jenis lauknya cenderung sedikit dan beberapa variasi saja, tapi harganya hanya seribu perak (mahal amat!!! ). Dan tentunya di jajakan oleh Pak Bet sendiri, kalo di jajakan oleh Pak No, angkringannya berubah jadi soto.

Malam minggu, setelah beraktivitas tidur dan tidur dan tidur lagi selama seharian tidak ada kerjaan, perut ini keroncongan, suaranya seperti pos kamling nyalain alarm manual untuk kebakaran, jumlah ketokannya 24 x 3. Maklum karna tidur memerlukan energi lebih besar daripada merem. Seperti biasa keadaan darurat ini segera di bumi hanguskan, untuk itu angkringan pak Bet adalah pilihan bijak ibu hamil (lho????). Karena jarak antara kost dan angkringan sangat dekat sekitar 200 meter dikali 2, cukup dengan celana pendek sendal jepit dan baju kaos oblong tanpa daleman menjadi sangu wajib. Dalam hitungan detik(ratusan detik) sampailah ke tempat tujuan. Beh, sepi, cuma ada kursi panjang, angkringan, sesosok mahluk berambut panjang dan pak Bet-nya. Akupun duduk di tempat favorite, di samping Pak Bet yang sedang bekerja naik delman istimewa ku duduk di muka pak kusir(????!!###?????) karna tempatnya eksklusif, terang, pandangan luas, semua jenis makanan tidak ada yang terlewatkan sedikitpun plus bisa liat orang seliweran, ada omom, tante-tante, bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anaka, becak, kursi, sepeda, mobil, dan banci! AH PROLOG NYA KEPANJANGAN!

Di hadapanku teronggok sesosok mahluk indah nan ayu dengan dandanan super cantiknya duduk dengan perasaan resah dan gelisah. Kenapa mahluk? ya, karna susah bedain antara dia adalah manusia secantik dewi atau dewi dengan wujud manusia (tsaahhhh…). Dengan arogan dan sombong aku memesan sesuatu kepada bartender

“es teh manis pak, satu!”

“emang biasanya berapa mas?” pak Bet dengan santai menjawab, seakan dia tahu aku sendirian.

Mahluk itu tidak bergeming dengan kesombonganku memesan minuman. Seolah dia tidak mengerti bahasaku, dan tak mengerti tingkahku. “jangan-jangan mahluk halus” pikirku. Tiba-tiba aku mendengar suaranya, merdu dan manja.

“mas, kamu ga makan?” tanyanya sembari menundukkan kepalanya

“ni lagi pilih-pilih” jawabku ragu “sendirian?”

“iya nih, aku sendirian disini. kamu kesini tho!”

“kesebelahmu???”

JELEGER, ga ada ujan ga ada angin tiba-tiba ada badai menyerang jantung ini. BUSEETTT nih mahluk agresif amat, kenalan aja belom.

“yaiyalah, gmana toh mas???” jawabnya lagi, masih tertunduk memiringkan sedikit kepalanya. “cepetan tho!”

Akupun tidak melewatkan kesempatan ini, walau agak ragu dan sedikit merasa aneh, akupun dengan segera pindah di sebelahnya. Aroma parfum bibit sepuluh ribuan terpancar menggelegar ditubuhnya. Sangat menggoda, dan  . . .

“hatcihhh!”

“monggo mas, es tehnya” pak Bet menyodorkan gelasnya padaku.

“oh iya pak, makasih, mie gorengnya satu ya pak, ga pake telor, masaknya setengah mateng aja, pake sawi, kuahnya dikit aja” aku langsung semangat memesan makanan.

“nggih mas, nganggo endhog boten?”

“ga pake pak, kan uda dibilangin tadi”

Pak Bet pun dengan segera membuatkan fried indonesian pasta pesananku.
Aku kembali terfokus ke sebelah ku, saat aku mencoba memandangnya, dia juga mengarahkan pandangnya padaku, mata kami beradu tatapan hanya 5 saat, kalau satuan saat sama dengan satu detik. slow mo.

Hidungnya yang mancung dan kecil membuat dia tampak anggun, bibirnya yang tipis dan merah merekah tanpa make-up menambah imut wajahnya, pipinya yang chubby dan ber lesung menambah elok parasnya di balur dengan matanya yang indah dan menawan semakin menambah sempurna kecantikannya. Rambutnya yang hitam mengkilat, lurus dan lembut tertiup angin menggontai pelan menyibak utuh keindahannya, dia dewi, pikirku.

Dia berkedip pelan dan mulai membuka bibirnya. CLOSE UP: bibirnya perlahan membuka

“mas, kesini buruan tho!” dia kembali memalingkan wajahnya.

“eh? eng” aku mulai ragu dengan sikapnya yang terus memaksa.

“mas. capek nih, nunggu disini lama-lama” dia mulai tidak sabar.

“iya, tapi, kita kan belom kenalan?” tanyaku polos.

“tuh kan mas, buruan deh ah, uda nungguin lama, ga dateng-dateng!”

“iya tapi . . .?

“pokoknya ga mau tau ah, lima menit lagi aku pulang!”

“anu . .tapi . . kan” belum selesai bicara dia sudah motong lagi

“uda deh mas, aku males lama-lama disini, kamu sih ga bilang-bilang kalo masih lama”

Aku mulai curiga dan mulai memperhatikan dirinya dengan seksama.

“disini tuh aku dah lama mas, uda minum es jeruk tiga gelas, di gangguin orang lagi, sok-sok ngajak kenalan, ngedeketin aku lagi, ngeri tau! tampangnya-tampang mesum lagi, sok kegantengan! buruan ah pokoknya!”

JELEGER! kali ini badai yang sama tapi efeknya beda, kayaknya kalo yang ini petir nya nyamber-nyamber dari ujung kepala mpe ujung pantat. FREEZE!

Kembali kuperhatikan dalam hitungan supercepat dan potongan-potongan gambar Extreme Close Up, tampak jelas tangan kirinya sedang menggenggam sebuah handphone berwarna hitam sepekat rambutnya, dan kepalanya merunduk menambahkan bayangan di tangan kirinya sehingga handphonenya hampir tidak terlihat. Semakin jelas lagi ketika ia memutus koneksi handphonenya. jelas tampak di layar Handphonenya gambar mahluk itu dengan herdernya dihiasi dengan ornamen berbentuk hati berwarna pink dan tertulis jelas nama herder itu : MAS BEIB CHAYANKQUW
Betapa malunya bukan kepalang! tapi aku tidak habis akal. Akupun segera mengangkat hapeku dengan tangan kanan dan menempelkannya di telinga, dan pura-pura menelpon.

“iya sayang, ni lagi pesen, ni uda mau makan kog” kataku ga kalah lantang. tapi mahluk disebelahku tadi menyadari sesuatu.

“mas, maaf, itu kog tulisannya INSERT SIM CARD!”

Hening

“Monggo mas, Mie ne di maem, setengah mateng boten nganggo endhog”

lagi-lagi hening . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  1/11/12

Wednesday, August 15, 2012

A Spontanius Liar become A Creative Writer.

Yah, silahkan berasumsi. Semasa masih SD, saya tipikal anak yang pendiam tapi bandel. Saya tidak nakal tentunya tapi sekali lagi bandel. menurut saya Nakal itu cenderung mengusik dan mengganggu orang lain, sedangkan bandel cenderung suka membantah. Kenapa Bandel?? Selama SD lingkungan tempat saya bersekolah dan lingkungan sosial saya sangat keras, mulai dari kata-kata kasar sampe pukul-pukulan itu sudah jadi hal yang biasa disana. Namun, kenakalan pada anak tidak berhasil mempengaruhi saya untuk jadi nakal, justru keinginan bermain saya yang membuat saya bandel.

Selama SD saya jarang bermain diluar, sepulang sekolah harus tidur siang sampe 2 jam, baru kemudian diperbolehkan main. Itupun masih terbatas.Di kelas 6 SD hasrat bermain saya sangat tinggi, karena ada permainan DING-DONG (arcade) yang sedang booming. Jenis permainan ini membuat saya kecanduan. Apapun akan saya lakukan agar dapat bermain ding dong ini, terutama ber BOHONG. Yah, saya sudah berlatih berbohong sejak saat itu.

Kebohongan saya dimulai dari tempat les, les yang harusnya hanya 3 hari seminggu, saya les tiap hari, sisanya untuk main ding-dong. Lama kelamaan saya mencuri duit Rp. 100,- untuk bisa bermain ding-dong. Semakin lama nominalnya semakin tinggi, terakhir Rp. 5000,- pada saat itu, jumlah itu sangat tinggi, saya bisa bermain sampai 50 kali, bahkan saya bagikan dengan beberapa teman. Di depan teman pun saya berbohong ketika ditanya dari mana duitnya, saya jawab aja, NEMU.

Berbohong tidak bisa berhenti disitu, SMP sampe SMA saya semakin menjadi. Bahkan di saat terdesak pun saya dengan lihainya berbohong.  Saya sudah tidak mencuri uang untuk bermain ding-dong, sudah bosan. Saya berbohong untuk hal yang lain, kebaikanyang lebih bernilai dari hanya sekedar permainan. Saya sering menyebutnya berbohong untuk . Tetap saja itu bohong. Kebohongan SMP dan SMA saya hanya seputar contek-mencontek. Saya tidak mencontek, tapi saya juga tidak mau nyontekin. Tapi kalo ga nyontekin saya di bully. Terpaksalah saya memberi jawaban yang salah bagi mereka yang tidak bisa menjawab dengan baik. Cukup banyak diantara mereka (teman-teman SMP) yang akhirnya tidak bisa masuk di sekolah favorit, tidak ada rasa bersalah.

Di SMA saya tidak lagi berurusan dengan contek-mencontek, walau kadang masih terjadi, karena sekolah saya menyaring dengan ketat murid-muridnya. Bahkan dari 6 kelas hanya tersisa 4 kelas dalam jangka waktu 2 tahun akibat saringan yang ketat itu. Perkembangan bohong saya meningkat di level selanjutnya. Saya mengasah kemampuan bohong saya di tahap GOMBAL. Saya tidak tampan nan rupawan, tidak kaya juga, fisik pun pas-pasan, tapi tentunya tidak menghalangi saya untuk punya pacar lebih dari 3 dalam satu waktu sekaligus, walaupun saya masih belum tau apa fungsi pacaran.

Semasa kuliah saya tidak tahu sampai dimana tingkat kebohongan saya. Jenuh, pastinya. Life is too easy. Tidak perlu pikir panjang untuk berbohong, saya sudah biasa, malah bohong itu terlalu mudah bagi saya. Sempat terbersit, mungkin BOHONG adalah BAKAT dan TALENTA saya. WOW!

Tapi justru ini adalah titik balik saya. Saya jenuh berbohong, dan sekali berbohong saya akan terus berbohong untuk menutupi kebohongan yang pertama dan seterusnya. Saya harus berhenti, dan berhenti adalah kesulitan baru. Tanpa berbohong saya menderita. Semua jadi serba salah, masalah jadi ribet. Perjuangannya sangat sulit, mungkin akumulasi kebohongan selama ini. Saya harus berhenti. Saya berhasil, namun perjuangan belum berakhir, sampai sekarang masih berjuang untuk itu.

Sekarang saya bekerja di media. Bakat dan Talenta saya mungkin bukan berbohong seperti yang selama ini saya kira. Imajinasi spontan dan pola pikir kreatif yang dulu saya pakai untuk berbohong sekarang saya pakai untuk membuat cerita, skenario, dongeng, dan tulisan. Mungkin inilah bakat dan talenta saya sesungguhnya.  I was a liar, now I am a Writer.